Tepat 29 Mei 2006, lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur mulai menyembur. Hingga empat tahun berselang agaknya tidak ada tanda-tanda akan berhenti, bahkan semburan masih kuat dengan rata-rata volume semburan sekitar 70 ribu meter kubik per hari.

Bila dihitung hingga saat ini volume lumpur yang tertampung di kolam 620 hektare mencapai sekitar 12 juta meter kubik. Lumpur sebanyak itu telah menenggelamkan 12 desa, 24 pabrik, dan 'menyingkirkan' 30 ribu warga dari kampung kelahirannya.

Tidak hanya itu, lumpur juga memutuskan jalan tol Gempol-Surabaya, jalan arteri Porong yang menghubungkan Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), dan rel kereta api lintas timur yang menghubungkan Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator Blok Brantas.

Jarak titik semburan dengan sumur BJP-1 itulah yang memicu polemik tentang penyebab semburan, apakah semburan lumpur panas itu disebabkan aktivitas pengeboran atau musibah yang bersifat alami. Polemik itu masih berkembang tanpa ujung pangkal, namun areal lumpur semakin luas dan akhirnya pemerintah mengurusi kawasan di luar peta terdampak.

Urusan itu tidak tanggung-tanggung, karena pemerintah sudah mengeluarkan uang rakyat dari APBN sebesar Rp4 triliun yakni Rp 450 miliar pada 2007, Rp 1,57 triliun (2008), Rp 1,15 triliun (2009), dan Rp 1,2 triliun pada 2010. Tentu saja, rakyat akan semakin banyak mengeluarkan uang, karena dua hal yakni akhir dari semburan lumpur itu tidak diketahui dan ganti rugi bagi para korban juga belum tuntas, meski Presiden sudah memberi batas waktu kepada Lapindo hingga 2012 untuk menyelesaikan ganti rugi.

Agaknya, penanganan semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo itu perlu dilakukan secara terintegrasi. "Sejak pertama kali timbul semburan sampai timbulnya semburan baru sekarang ini, kami melihat tidak adanya penanganan yang erintegrasi," kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Arif Hari Setiawan di Surabaya (30/4/2010).

Oleh sebab itu, dia meminta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Pemprov Jatim, Pemkab Sidoarjo, dan kalangan akademisi saling berkoordinasi terkait persoalan itu. "Kalau permasalahan lumpur dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir investasi di Jatim akan kacau, karena beberapa waktu lalu sudah ada investor asing yang urung berinvestasi di Probolinggo setelah mengetahui lokasi investasi di timur Lapindo," katanya.

(source : republika.co.id)

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar